PostGlimpse

Dive Deep into Creativity: Discover, Share, Inspire

Kontemplasi - Blog Posts

1 month ago

Memilih Hidup

Begitu banyak manusia yang ingin menyerah dan mengakhiri hidup. Terkadang, nggak jarang mereka punya apa yang kita nggak miliki. Uang, usia muda, badan yang masih sehat, masih banyak lagi.

Keinginan untuk nyerah pasti ada dan terus berulang datang. Tapi aku punya alasan untuk memilih hidup. Bukan karena orang tua, keluarga, saudara, bukan juga sahabat.

Aku dilahirkan dalam keadaan baik dan aku cuma ingin pulang dengan keadaan yang baik juga.

Menjaga amanah tubuh yang sudah dikasih sebaik mungkin sama Tuhan sampai nanti. Sampai, insya Allah, ketemu lagi sama Tuhan. Kamu juga harus mencari alasanmu sendiri untuk bisa bertahan hidup.

Kalau rasa negatifnya datang, bawa di dalam doa malam. Ingat, Tuhan (dan aku) nggak ingin kamu sedih. La tahzan innallaha ma'ana.

Kalau belum hilang juga, bawa dalam doa pagimu. Ada satu surat yang khusus diturunkan untuk ngingetin, kalau kita nggak pernah ditinggalin sama Tuhan. Ad Dhuha yang cuma 11 ayat aja.

Ada begitu banyak rahmat Tuhan yang dikasih untuk manusia, lebih dari yang mereka tau. Makanya Tuhan nggak pengin kita menyia-nyiakannya.

Orang tua, keluarga, saudara, sahabat, ga akan selalu ada, tapi Tuhan nggak akan pergi ninggalin. Dia akan terus kasih rahmat, petunjuk, dan kecukupan sampai batas waktu yang ditentukan.

25/4/2025


Tags
4 years ago

Anak Laki-Laki di Dasar Kolam

@miakamiya

“Shameless!” “Fool!” Kedua kata itu terdengar ketika kuterbangun dari tidur. Entah alam bawah sadarku yang meneriakkannya atau karena hal lain. Tubuhku terasa berat setelah dibangun paksa oleh suara itu. Samar-samar kuingat kembali mimpi dengan suara barusan. Namun, aku malah teringat kejadian sepuluh tahun lalu, saat diriku begitu polos, menuruti semua dikte orang lain. Anak rajin yang periang. Semua kenormalan anak kecil: periang, rajin dan polos itu, mantap membuat orang dewasa di sekelilingmu berpikir bahwa kaubaik-baik saja. Tak ada yang salah padamu. Tak ada yang salah pada lingkungan sekitarmu. Hingga menjadi anak kecil membuat argumentasimu tidak didengar, hanya manusia minor yang otaknya belum sempurna betul. Tahu apa jika seseorang belum bekerja dan punya penghasilan. Mereka hanya dianggap anak kecil. Tidak lebih, tidak kurang.

Kubuka jendela kamarku. Matahari masih belum muncul, tapi aku segera bergegas pergi bekerja. Ya, ke tempat orang dewasa berkumpul. Aku menjadi bagian dari masyarakat yang normal dan layaknya orang dewasa pada umumnya. Setelah aku menyerap dan menganalisis perilaku orang-orang di sekelilingku, gaya bicara, gaya berpakaian, dan perilaku, supaya mereka mengira bahwa lawan bicaranya adalah sesama orang dewasa, dan tidak curiga padaku. Karena, orang “dewasa” berbicara pada orang yang memiliki gelar, kekayaan, membentuk perkumpulan konyol mereka. Jiwaku yang terperangkap tubuh orang dewasa ini, lebih banyak tidak mendengar ucapan-ucapan yang mereka lontarkan padaku.

Aku teringat pada Pangeran Kecil yang pernah berkata bahwa ia menceritakan semua detail mengenai Asteroid B612 ini sampai menyebut nomornya, gara-gara orang dewasa. Orang dewasa menyukai angka-angka. Jika kalian bercerita teman baru, mereka tidak pernah menanyakan hal-hal yang penting. Mereka tidak pernah bertanya, “Bagaimana nada suaranya? Permainan apa yang paling disukainya? Apakah ia mengoleksi kupu-kupu?” Mereka bertanya, “Berapa umurnya? Berapa saudaranya? Berapa berat badannya? Berapa gaji ayahnya?” Hanya demikianlah mereka mengira dapat mengenalnya[1].

Sambil kumenunggu bus tiba, aku selalu menyematkan handsfree di kedua telingaku agar tidak mendengar obrolan menjemukan dari orang dewasa yang berlalu-lalang di sekelilingku atau pura-pura tidak mendengar ketika rekan kerjaku yang kebetulan melihatku dari jauh. Namun, entah kenapa, dari samping halte bus, mataku tidak bisa mengalihkan pandangan.

Aku melihat anak kecil berjongkok, kepalanya tertunduk. Ia berada di dasar kolam dipenuhi air berwarna biru. Tidak ada yang bertanya padanya, “Apa kaubaik-baik saja?” Tidak ada satupun yang mau mengulurkan tangannya untuk anak laki-laki itu, meskipun kolam itu berada di tengah kota yang sibuk. Sesosok anak laki-laki tanpa nama, begitu kata mereka. Ia hanya lelah pada sekelilingnya hingga ia berlari sekencang mungkin. Ia memohon agar semua itu hanya mimpi dan menyesalkan mengapa hal itu terus berulang. Dari mana awal mulanya kebiasaan itu muncul? Bagaimana mengakhirinya? Adalah sesuatu yang harus ia temukan jawabannya segera. Namun, akhirnya ia lelah berlari menjauh hingga ia kembali lagi pada titik nadir itu. Ia menyerah dan memutuskan untuk mendiami kolam itu.

Tubuhnya kecil, wajahnya pucat, warna kulitnya pun putih pucat. Bila tangannya digenggam paksa maka urat nadinya akan langsung tampak kemerah-merahan, membiru jika terlalu lama dicengkeram. Seringkih itukah ia? Anak laki-laki tanpa nama itu, seakan bermata biru langit malam. Begitu melihatnya kauakan tenggelam, betapa magis tatapannya. Wajahnya begitu dingin, namun seperti membutuhkan sebuah pelukan hangat. Maaf, aku tidak bisa menolongmu karena aku pun butuh pertolongan, pikirku. Aku bergerak menjauh dari sisi kolam. Membiarkannya kembali tertunduk di dasar kolam. Sejenak aku terhenti. Membayangkan bagaimana jika tak ada satu pun orang yang repot-repot menjemputnya paksa untuk keluar dari kolam? Dapatkah ia bertahan di tengah membekunya suhu air di bawah sana? Jika bukan aku, apakah ia... akan... mati?

Seratus dua ratus meter dari bibir kolam. Aku tetap melanjutkan perjalananku yang melelahkan tanpa tahu akhirnya akan bagaimana. Berusaha menjadi orang yang tidak melihat kejadian barusan. Aku menyadari, apa bedanya yang kulakukan tadi dengan orang dewasa yang selama ini kubenci? Aku tertunduk malu dan menyadari begitu bodohnya diriku. Mengulang kembali kesalahan yang sama. Mengabaikan suara dirimu sendiri. Tidak pernah mengutarakan apa maumu, apa yang membuatmu bahagia.

Hingga kaki ini tanpa kuperintah berbalik pada kolam itu. Kuceburkan tubuhku ke dasar kolam dan mendapatinya masih tertunduk. Kuraih tangannya hingga ia melihatku dengan mata warna biru langit malam itu. Ah,,, mata itu, kini aku benar-benar tenggelam karenanya. Ia menggenggam tanganku, memelukku erat. Apakah kami akan sama-sama tenggelam atau akan muncul kepermukaan setelah itu? Kami tidak mau tahu, yang jelas ia tidak akan kesepian, tidak akan sendirian lagi.

(25/3/2021)

[1] Le Petit Prince – Antoine De Saint-Exupery

Anak Laki-Laki Di Dasar Kolam

Tags
4 years ago

Tafakur

Tafakur

@miakamiya

Dalam ruangan sepetak ini menyadari besarnya arti diri. Peran kita di alam fana hingga tujuan hidup menjadi pertanyaan setiap malam. Kedua pertanyaan itu membuatku sulit tertidur, meski raga ini sudah lelah mencoba mencari jawabannya.

Manusia lahir memiliki perannya masing-masing. Menjadi sebab-akibat bagi manusia yang lain. Demi mengubah sifat dan karakter antara satu dan manusia lain.

Layaknya daun yang layu, kering dan jatuh ke tanah, maka tumbuh daun yang lainnya agar suatu pohon tetap hidup, tumbuh, dan berkembang mengeluarkan daun yang baru.

Harus ada yang menderita untuk nantinya dapat mengajarkan kepada manusia lain, mana yang baik dan mana yang benar. Harus ada yang menangis untuk bisa menyebarkan kebahagiaan kepada manusia lain. Harus ada yang ikhlas dan bersyukur untuk nantinya menerima ketentuan Ilahi. Apakah itu menjadi rakyat biasa, warga negara dari negara maju, atau terlahir dari negara perang berkecamuk atau miskin.

Akan tetapi, bagi yang tidak mampu memiliki rasa ikhlas dan syukur, manusia menggunakan segala cara hingga emosinya mengambil alih.

(4/2020)


Tags
Loading...
End of content
No more pages to load
Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags